Satu persatu; jiwamu luruh, matamu bengkak
menangis kerana hatimu retak;
usahlah menangis lagi, airmatamu gasak,
membunuh, menikam, mengoyak,
menyiat-nyiat isi dagingku berselerak,
"Aku lepaskanmu," anggukku tdak berkudrat,
Cukuplah membentak.
Apakah kamu mengira tanaman sayang ini
tidak ku hargai? Yangku baja seluruh hati;
hingga pernah kamu mengangguk, tersenyum sendiri;
"Tangisan gembiraku memonopoli!" Ingatkah ini?
Dalil kebahagiaan engkau kecapi,
mengayuh dayung dalam perahu dunia ini,
berhajatkan sampai ke sana bersama; tidak sendiri.
Seperti sepotong sutera yang lembut lemah;
engkau mudah sekali koyak dan rebah,
"Maafkan aku," tuturku tidak gagah:
"Aku tidak mahu kamu berubah,"
"Menjadi derhaka, hak mereka nyata tidak pernah goyah,"
Walau sekalian ronggaku mengeluarkan darah
berhajatkanmu; hati mereka tidak sesekali berubah.
"Cukuplah tangismu, sayang!" Sinisku
bersama tangisan yang turut menitis laju;
Kamu bahkan lebih bahagia dengan izinMu,
aku yakin dalam doa tulusku.
Usah dihitung keadaan lelaki itu,
dia sedang menulis untukmu,
sehingga jari-jemarinya kaku
tersusun dalam sebuah kotak kayu,
berlapikkan tanah tidak berbatu.
No comments:
Post a Comment